Perkumpulan Pengajar dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (P3HKI) melanjutkan Focus Group Discussion sesi ke-2 pada Jumat, 1 Juli 2022. FGD ini menyoal isu cuti melahirkan atau maternity leave selama 6 (enam) bulan yang dimuat dalam Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA). Kegiatan FGD diawali dengan sambutan Ketua Umum P3HKI Dr. Agusmidah, S.H., M.Hum. yang menyampaikan terima kasih atas kesediaan para narasumber dan peserta yang hadir, juga berharap agar para peserta aktif memberikan masukan untuk perbaikan RUU KIA. Selanjutnya, pembacaan Hasil Rumusan FGD sesi 1 oleh Dios Aristo Lumban Gaol selaku Moderator. Dios membacakan kesepuluh poin yang telah dirumuskan oleh Tim P3HKI yang diharapkan dapat dirujuk oleh peserta dalam FGD sesi 2 sehingga diskusi berjalan secara mendalam.
Diskusi kali ini menghadirkan dua narasumber yakni Dr. Ida Susanti, S.H., LLM., C.N. dari Fakultas Hukum Universitas Parahyangan (UNPAR) sekaligus pengurus/anggota P3HKI, dan tenaga ahli Badan Legislasi DPR RI yang juga Dosen FH Universitas Pamulang, Dr. Joko Riskiyono, S.H., M.H.
“Sebagai bentuk upaya peningkatan kualitas keluarga dalam RUU KIA, posisi bu sangat penting dalam keluarga. Apakah hanya ibu yang bertanggung jawab? RUU ini kemudian membuat terobosan dengan maternity leave” ungkap Dr. Ida Susanti, pemantik pertama FGD sesi-2 ini. Ida menyampaikan bahwa ada beberapa hal yang belum tuntas dalam RUU KIA, antara lain: cara melaksanakan RUU KIA, kewajiban pengambilan waktu, pengawasan pelaksanaan, pembebanan biaya, batas pemanfaatan periode cuti, pemberlakuan bagi pekerja PKWT, dan mempertanyakan apakah regulasi ini bersifat mengatur saja? Dalam pemaparan sebagai pemantik, Ida menganalisis RUU KIA dengan metode analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, dan Threat). Dipaparkan bahwa RUU KIA ini tumpang tindih dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lain seperti ketentuan masa istirahat bagi pekerja perempuan yang melahirkan pada Pasal 82 UU No. 13 Tahun 2003 (Ketenagakerjaan), dan ketentuan skema dengan Corporate Social Responsibility (CSR) dalam UU Perseroan Terbatas, sehingga terjadi inkonsistensi antarnorma. Dalam penutupan pemantikannya, Ida menyampaikan poin rekomendasi atas RUU KIA yakni mengenai hak ketenagakerjaan, isi peraturan, pelaksanaan, dan pendanaan dalam cuti keluarga.
Dr. Joko Riskiyono sebagai pemantik kedua FGD sesi 2 memberikan pandangan bahwa dalam proses legislasi RUU KIA terdapat perbaikan pengaturan atas harmonisasi peraturan perundang-undangan khususnya dengan UU Ketenagakerjaan. Joko menambahkan hak normatif pekerja seperti cuti 6 (enam) bulan seharusnya lebih diatur dalam UU Ketenagakerjaan supaya pengaturan ketenagakerjaan tidak tercerai-berai. Dalam pemaparannya, mengenai jaminan sosial dalam Pasal 26 RUU KIA juga tidak menjawab persoalan jaminan sosial dan pendelegasian yang ada dalam RUU KIA menimbulkan masalah akan teknis pelaksanaan, penegakan, dan pengawasannya. Salah satu Tenaga Ahli Baleg DPR RI ini menyampaikan bahwa setelah proses harmonisasi, beberapa catatan dari RUU KIA yang ditemukan yakni harmonisasi antara RUU KIA dan UU Ketenagakerjaan mengenai lamanya waktu istirahat melahirkan, kekhawatiran PHK dalam melaksanakan cuti 6 (enam) bulan, hak atas pendapatan pekerja perempuan, kewenangan antara pusat dan daerah, serta pelindungan sosial dalam bentuk jaminan sosial.
Dalam sesi diskusi, Erri Tjakra sebagai praktisi memberi tanggapan bahwa seharusnya dalam cuti melahirkan diatur secara tegas waktunya supaya tidak menjadi permasalahan seperti istirahat melahirkan yang terjadi selama ini, dimana pekerja perempuan justru mengambil masa istirahat setelah melahirkan, padahal seharusnya 1.5 bulan sebelum dan 1.5 bulan sesudah melahirkan. Tanggapan lain juga diberikan oleh Darsi, praktisi pengawas ketenagakerjaan. Darsi menyampaikan bahwa keberlangsungan pekerjaan saat diberikan cuti 6 (enam) bulan berdampak pada kesejahteraan keluarga dan aspek keselamatan reproduksi perempuan, belum lagi masalah penegakan hukumnya. Tanggapan lain juga diberikan oleh Nason Nadeak sebagai praktisi yang menanggapi mengenai hak jika upah saat cuti tidak bayar. Nason mempertanyakan bagaimana kewenangan untuk memberikan hak pekerja tersebut antara perusahaan, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah. Peserta lain, Dr. Siti Kunarti menyampaikan bahwa kehadiran negara sangat penting untuk turun tangan dalam rangka kesehatan ibu (pekerja) dan anak, regulasi harus tepat agar dapat diimplementasikan.
Dr. Ida memberi tanggapan tentang upah dalam masa cuti melahirkan, saat ini telah berjalan sesuai ketentuan Pasal 82 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa 3 (tiga) bulan dibayar oleh pengusaha. Oleh karenanya, jika RUU ini berlaku nantinya perlu ditetapkan 3 (tiga) bulan selanjutnya didanai melalui program baru maternity leave melalui BPJS Ketenagakerjaan”. Lalu soal sanksi, beliau menambahkan bahwa tidak adanya sanksi pidana dikuatirkan dalam pelaksanaannya tidak akan efektif.
Diskusi kemudian disimpulkan oleh Abdul Khakim (Sekretaris Jenderal P3HKI) untuk dimasukkan dalam Brief Policy tim P3HKI, dilanjutkan dengan closing statement dari pemantik diskusi, dan ditutup oleh moderator.