Perkumpulan Pengajar dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (P3HKI) melanjutkan Focus Group Discussion sesi ke-3 pada Sabtu, 17 September 2022. FGD ini menyoal isu Pelindungan Pekerja/ Buruh dalam Undang-Undang Cipta Kerja Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi. Kegiatan FGD diawali dengan sambutan Sekretaris Jenderal P3HKI Abdul Khakim ,S.H., M.Hum. dan Ketua Umum P3HKI Dr. Agusmidah, S.H., M.Hum. yang menyampaikan terima kasih atas kesediaan para narasumber dan peserta yang hadir, juga berharap agar para peserta aktif memberikan masukan untuk perbaikan RUU KIA. Selanjutnya, pembacaan Hasil Rumusan FGD oleh Dr. Ida Susanti, S.H., LLM., C.N. dari Fakultas Hukum Universitas Parahyangan (UNPAR) sekaligus pengurus/anggota P3HKI selaku Moderator. Dr. Ida Susanti, S.H., LLM., C.N. membacakan poin yang telah dirumuskan oleh Tim P3HKI yang diharapkan dapat dirujuk oleh peserta dalam FGD sesi 3 sehingga diskusi berjalan secara mendalam.
Diskusi kali ini menghadirkan tiga narasumber yakni Dr. H. Nurdin Singademedja, S.H., M.H selaku Dosen Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang, lalu Advokat/ Konsultan Hukum yang juga sebagai Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra (UWP) Surabaya H. Chamdani, S.H., S.E., M.H., M.Si., MPDSM, serta Achmad Ismail sebagai representative Geber BUMN (Gerakan Bersama Buruh/ Pekerja di BUMN)
“Ibu Bapak sekalian dan panitia serta peserta seluruhnya sebenarnya yang saya sajikan ini merupakan curhat ya kepada seluruh serah keluarga. Curhat seperti tidak ada penghargaan kepada Serikat , Pekerja serikat buruh bukan bagi perlindungan tetapi juga penghargaan ya yang tidak ada.” ungkap Dr. H. Nurdin Singademedja, S.H., M.H, pemantik pertama FGD sesi-3 ini. Nurdin menyampaikan terkait serikat pekerja dalam pembentukan hukum dari masa ke masa. Sesi 1 ini menyampaikan perkembangan serikat buruh dari sebelum era reformasi – hingga sekarang, yaitu mengenai pemngimplementasian UU Cipta Kerja. Melalui Sesi 1 ini, Nurdin juga menyampaikan beberapa kritik dan menegaskan bahwa Omnibus Law tidak sejalan dengan Nawacita Jokowi bahkan tidak cocok untuk diterapkan dalam sistem hukum Indonesia. Tidak dilibatkannya Serikat Pekerja/ Serikat Buruh dalam Proses Pembentukan UU Cipta Kerja merupakan suatu kemunduran dalam pelaksanaan demokrasi. Diskusi oleh Pemateri 1 pun ditutup dengan sebuah pertanyaan “UU Cipta Kerja seharusnya ditetapkan sebagai bentuk pelindungan hukum bagi Pekerja yang diberikan oleh Pemerintah, namun baik dalam proses pembentukanya sampai dengan pembahasan substansi UU tidak melibatkan unsur pekerja, sehingga Pelindungan Hukum dalam bentuk UU Cipta Kerja ditujukan bagi siapa?”
Chamdani, S.H., S.E., M.H., M.Si., MPDSM sebagai pemantik kedua FGD sesi 3 memulai dengan memberikan pandangan terkait “Apakah Undang-Undang Cipta Kerja hadir untuk membawa perubahan atau kemunduran” . Chamdani menjelaskan terkait definisi pelindungan pekerja, hak-hak pekerja, serta perbedaan Undang-Undang Ketenagakerjaan serta Undang-Undang Cipta Kerja dalam klaster Ketenagakerjaan. Beliau pun membahas dimana letak hilangnya aspek pengaturan pengupahan, pemutusan hubungan kerja, pesangon, hingga Pemutusan Hubungan Kerja. Chamdani pun mengulik “SEMA Mengalahkan Putusan Mahkamah Konstitusi” dan muncullah pertanyaan “Bagaimana jika PEkerja yang selama proses PHK ditelantarkan hingga bertahun-tahun? Sesi Kedua ini ditutup dengan beberapa kesimpulan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja belum layak untuk hadir dalam regulasi Indonesia serta saran-saran yang diberikan yaitu melakukan perbaikan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja dengan mendengarkan aspirasi para Pekerja/ Buruh dan mengedepankan kemanfaatan serta pelindungan pekerja/ buruh.
Sesi diskusi ini kemudian dilanjutkan oleh Achmad Ismail dengan judul “Kekisruhan UU Cipta Kerja, dalam Tatanan Implementasi Pelindungan Kerja”. Dalam sesi diskusi ini, Achmad menyorot sisi positif dan negatif. Sisi positif yang dikaji adalah terkait tingginya penyerapan tenaga kerja, norma kerja yang lebih terjaga, kesehatan dan keselamatan tenaga kerja, kebebasan berorganisasi diakui, tetapi setelah dikaji lebih lanjut, penguatan atas pengawasan norma-norma ketenagakerjaan tidak sepenuhnya tersentuh, yang tampak degradasi atas sejumlah kondisi ketenagakerjaan, sehingga pelindungan tenaga kerja nasional menjadi rapuh. Ketika UU Cipta Kerja sebenarnya rapuh. Oleh karena itu, di akhir diskusi Achmad Ismail (Ais) mengatakan bahwa Geber tidak akan berhenti untuk berjuang agar klaster Ketenagakerjaan ini dikeluarkan dari pembahasan UU Cipta Kerja.
Dalam sesi diskusi, timbul beberapa poin tanggapan terkait hadirnya UU Cipta Kerja. Para hadirin/ peserta menyebutkan sepertinya hadirnya UU Cipta Kerja hanyalah untuk investasi saja tanpa memandang pelindungan pekerja, di sisi yang lain adanya pembahasan terkait seiring berjalannya waktu ketidaksolidan serikat pekerja semakin tinggi, apa yang menyebabkan ini terjadi, dan dilain pihak ada juga yang menyebutkan bagaimana idealnya menyikapi keputusan yang sudah inkrah (keputusan di aspek pidana yang masih kurang ditelusuri di sektor ketenagakerjaan) dan harapan besar hadirnya sub-direktorat ketenagakerjaan di Kepolisian (terutama tingkat daerah). Diskusi ini juga juga ditutup dengan penyampaian aspirasi dari salah satu peserta, Siti Kuniarti, yang menyetujui dicabutnya kluster ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja, karena dalam waktu yang singkat ini tidak memberikan kesejahteraan bagi para pekerja/ buruh dan membingungkan di sisi pengusaha.
Diskusi kemudian disimpulkan oleh Abdul Khakim (Sekretaris Jenderal P3HKI), dilanjutkan dengan closing statement dari pemantik diskusi, dan ditutup oleh moderator.